Kamis, 07 Januari 2016

PERJALANAN KE DESA TANJUNG PURA , KETAPANG


PERJALANAN KE DESA TANJUNG PURA
Kamis 31 desember 2015 aku dan salah satu mantan mahasiswaku pergi ke desa Tanjung Pura untuk melihat peninggalan kerajaan Tanjung Pura di desa Tanjung Pura kabupaten ketapang.
Jam 7.30 WIB aku berangkat dari Kota Ketapang dengan naik sepeda motor, perjalanan sampai ke sungai awan cukup mulus karena jalanan beraspal, menuju kearah desa Tanjung Pura aku menghadapi jalanan berlumpur dan ini pertama kali aku memasuki desa Tanjung Pura. Sekitar 1 KM dari desa jalanan putus karena banjir, jadi kami harus naik sampan motor untuk bisa melewati jalanan yang banjir. 




Dengan ongkos RP.45.000 cukup untuk pulang pergi naik sampan motor,namun kami tidak bisa makan dijalan karena hanya bawa bekal Rp.50.000, aku kira jalan menuju desa Tanjung Pura tidak akan naik perahu ternyata harus naik perahu karena sungai menuju desa tanjung pura tidak bisa dibuat jembatan. Pernah ada kontraktor yang mencoba membuat jembatan agar warga Tanjung Pura tidak naik perahu cukup lewat darat terus, namun entah mengapa jembatannya sulit sekali dibangun tiang pancang jembatan tak pernah sampai kedasar tanah gambut dan satu alat berat juga jadi korban tenggelam dilumpur lahan gambut.
Sekitar jam  9.15 aku sampai di desa Tanjung Pura, tempat yang pertama aku datangi makam-makam raja kemudian tempat pemandian putri di belakang makam raja-raja. Kemudian setelah sekian lama dikomplek makam, kami menuju perumahan warga di Desa Tanjung Pura yang berada ditepi sungai pawan. 













Setelah berjalan melihat perkampungan tanjung pura kami menuju ke lapangan sapu jagat dan sumur sapu jagat, konon tempat tersebut merupakan tempat beribadah para keluarga raja dan tempat bermusyawarah.

Dibawah ini akan saya tampilkan artikel tentang Kerajaan Tanjungpura yang saya ambil dari http://disbudparpora.ketapangkab.go.id



Kerajaan Tanjungpura atau Tanjompura merupakan kerajaan tertua di Kalimantan Barat. Kerajaan yang terletak di Kabupaten Kayong Utara ini pada abad ke-14 menjadi bukti bahwa peradaban negeri Tanah Kayong sudah cukup maju pada masa lampau.
Tanjungpura pernah menjadi provinsi Kerajaan Singhasari sebagai Bakulapura. Nama bakula berasal dari bahasa Sanskerta yang berarti tumbuhan tanjung (Mimusops elengi), sehingga setelah dimelayukan menjadi Tanjungpura.
Daerah kekuasaan

Wilayah kekuasaan Tanjungpura membentang dari Tanjung Dato sampai Tanjung Sambar. Pulau Kalimantan kuno terbagi menjadi 3 wilayah kerajaan besar: Borneo (Brunei), Sukadana (Tanjungpura) dan Banjarmasin. Tanjung Dato adalah perbatasan wilayah mandala Borneo (Brunei) dengan wilayah mandala Sukadana (Tanjungpura), sedangkan Tanjung Sambar batas wilayah mandala Sukadana/Tanjungpura dengan wilayah mandala Banjarmasin (daerah Kotawaringin).Daerah aliran Sungai Jelai, di Kotawaringin di bawah kekuasaan Banjarmasin, sedangkan sungai Kendawangan di bawah kekuasaan Sukadana.Perbatasan di pedalaman, perhuluan daerah aliran sungai Pinoh (Lawai) termasuk dalam wilayah Kerajaan Kotawaringin (bawahan Banjarmasin)

Pada masa mahapatih Gajah Mada dan Hayam Wuruk seperti disebutkan dalam Kakawin Nagarakretagama, negeri Tanjungpura menjadi ibukota bagi daerah-daerah yang diklaim sebagai taklukan Majapahit di nusa Tanjungnagara (Kalimantan). Majapahit mengklaim bekas daerah-daerah taklukan Sriwijaya di pulau Kalimantan dan sekitarnya. Nama Tanjungpura seringkali dipakai untuk sebutan pulau Kalimantan pada masa itu. Pendapat lain beranggapan Tanjungpura berada di Kalimantan Selatan sebagai pangkalan yang lebih strategis untuk menguasai wilayah yang lebih luas lagi. Menurut Pararaton, Bhre Tanjungpura adalah anak Bhre Tumapel II (abangnya Suhita). Bhre Tanjungpura bernama Manggalawardhani Dyah Suragharini yang berkuasa 1429-1464, dia menantu Bhre Tumapel III Kertawijaya. Kemudian dalam Prasasti Trailokyapuri disebutkan Manggalawardhani Dyah Suragharini menjabat Bhre Daha VI (1464-1474). Di dalam mandala Majapahit, Ratu Majapahit merupakan prasada, sedangkan Mahapatih Gajahmada sebagai pranala, sedangkan Madura dan Tanjungpura sebagai ansa-nya.
Perpindahan ibukota kerajaan

Ibukota Kerajaan Tanjungpura beberapa kali mengalami perpindahan dari satu tempat ke tempat lainnya. Beberapa penyebab Kerajaan Tanjungpura berpindah ibukota adalah terutama karena serangan dari kawanan perompak (bajak laut) atau dikenal sebagai Lanon. Konon, pada masa itu sepak-terjang gerombolan Lanon sangat kejam dan meresahkan penduduk. Kerajaan Tanjungpura sering beralih pusat pemerintahan adalah demi mempertahankan diri karena sering mendapat serangan dari kerajaan lain. Kerap berpindah-pindahnya ibukota Kerajaan Tanjungpura dibuktikan dengan adanya situs sejarah yang ditemukan di bekas ibukota-ibukota kerajaan tersebut. Negeri Baru di Ketapang merupakan salah satu tempat yang pernah dijadikan pusat pemerintahan Kerajaan Tanjungpura. Dari Negeri Baru, ibukota Kerajaan Tanjungpura berpindah ke Sukadana. Pada masa pemerintahan Sultan Muhammad Zainuddin (1665–1724), pusat istana bergeser lagi, kali ini ditempatkan di daerah Sungai Matan (Ansar Rahman, tt:110). Dari sinilah riwayat Kerajaan Matan dimulai. Seorang penulis Belanda menyebut wilayah itu sebagai Kerajaan Matan, kendati sesungguhnya nama kerajaan tersebut pada waktu itu masih bernama Kerajaan Tanjungpura (Mulia [ed.], 2007:5). Pusat pemerintahan kerajaan ini kemudian berpindah lagi yakni pada 1637 di wilayah Indra Laya. Indra Laya adalah nama dari suatu tempat di tepian Sungai Puye, anak Sungai Pawan. Kerajaan Tanjungpura kembali beringsut ke Kartapura, kemudian ke Desa Tanjungpura, dan terakhir pindah lagi ke Muliakerta di mana Keraton Muhammad Saunan sekarang berdiri.
Perpindahan ibukota Kerajaan Sukadana

Menurut Catatan Gusti Iswadi, S.sos dalam buku Pesona Tanah Kayong, Kerajaan Tanjungpura dalam perspektif sejarah disebutkan, bahwa, dari negeri baru kerajaan Tanjungpura berpindah ke Sukadana sehingga disebut Kerajaan Sukadana, kemudian pindah lagi Ke Sungai Matan (sekarang Kec. Simpang Hilir). Dan semasa pemerintahan Sultan Muhammad Zainuddin sekitar tahun 1637 pindah lagi ke Indra Laya sehingga disebut Kerajaan Indralaya. Indra Laya adalah nama dari satu tempat di Sungai Puye anak Sungai Pawan Kecamatan Sandai. Kemudian disebut Kerajaan Kartapura karena pindah lagi ke Karta Pura di desa Tanah Merah, Kec. Nanga Tayap, kemudian baru ke Desa Tanjungpura sekarang (Kecamatan Muara Pawan) dan terakhir pindah lagi ke Muliakarta di Keraton Muhammad Saunan yang ada sekarang yang terakhir sebagai pusat pemerintahan swapraja.

Bukti adanya sisa kerajaan ini dapat dilihat dengan adanya makam tua di kota-kota tersebut, yang merupakan saksi bisu sisa kerajaan Tanjungpura dahulu. Untuk memelihara peninggalan ini pemerintah Kabupaten Ketapang telah mengadakan pemugaran dan pemeliharaan di tempat peninggalan kerajaan tersebut. Tujuannya agar genarasi muda dapat mempelajari kejayaan kerajaan tanjungpura pada masa lampau.
Para Penguasa

Dalam melacak jejak raja-raja yang pernah memimpin Kerajaan Matan, patut diketahui pula silsilah raja-raja Kerajaan Tanjungpura karena kedua kerajaan ini sebenarnya masih dalam satu rangkaian riwayat panjang. Berhubung terdapat beberapa versi tentang sejarah dan silsilah raja-raja Tanjungpura beserta kerajaan-kerajaan lain yang masih satu rangkaian dengannya, maka berikut ini dipaparkan silsilahnya menurut salah satu versi, yaitu berdasarkan buku Sekilas Menapak Langkah Kerajaan Tanjungpura (2007) suntingan Drs. H. Gusti Mhd. Mulia:
Kerajaan Tanjungpura

    Brawijaya (1454–1472)[6]
    Bapurung (1472–1487)[7][8][9]
    Panembahan Karang Tanjung (1487–1504)

Pada masa pemerintahan Panembahan Karang Tanjung, pusat Kerajaan Tanjungpura yang semula berada di Negeri Baru dipindahkan ke Sukadana, dengan demikian nama kerajaannya pun berubah menjadi Kerajaan Sukadana. Sukadana merupakan nama yang disebutkan untuk kerajaan ini dalam Hikayat Banjar.
Kerajaan Sukadana
Peta yang dibuat oleh Oliver van Noord tahun 1600, menggambarkan lokasi Succadano, Tamanpure, Cota Matan, dan Loue
    Panembahan Karang Tanjung (1487–1504)
    Gusti Syamsudin atau Pundong Asap atau Panembahan Sang Ratu Agung (1504–1518)
    Gusti Abdul Wahab atau Panembahan Bendala (1518–1533)
    Panembahan Pangeran Anom (1526–1533)
    Panembahan Baroh (1533–1590)
    Gusti Aliuddin atau Giri Kesuma atau Panembahan Sorgi (1590–1604)
    Ratu Mas Jaintan (1604?1622)
    Gusti Kesuma Matan atau Giri Mustika atau Sultan Muhammad Syaifuddin/Raden Saradipa/Saradewa(1622–1665); Menantu Ratu Bagawan dari Kotawaringin
Inilah raja terakhir Kerajaan Sukadana sekaligus raja pertama dari Kerajaan Tanjungpura yang bergelar Sultan.

Kesultanan Matan

    Gusti Jakar Kencana atau Sultan Muhammad Zainuddin (1665–1724)
    Gusti Kesuma Bandan atau Sultan Muhammad Muazzuddin (1724–1738)
    Gusti Bendung atau Pangeran Ratu Agung atau Sultan Muhammad Tajuddin (1738–1749)
    Gusti Kencuran atau Sultan Ahmad Kamaluddin (1749–1762)
    Gusti Asma atau Sultan Muhammad Jamaluddin (1762–1819)

Gusti Asma adalah raja terakhir Kerajaan Matan dan pada masa pemerintahannya, pusat pemerintahan Kerajaan Matan dialihkan ke Simpang, dan nama kerajaannya pun berganti menjadi Kerajaan Simpang atau Kerajaan Simpang-Matan.

Kerajaan (penambahanschap) Simpang-Matan

    Gusti Asma atau Sultan Muhammad Jamaluddin (1762–1819). Anak Sultan Ahmad Kamaluddin
    Gusti Mahmud atau Panembahan Anom Suryaningrat (1819–1845). Menantu Sultan Ahmad Kamaluddin[13]
    Gusti Muhammad Roem atau Panembahan Anom Kesumaningrat (1845–1889). Anak Panembahan Anom Suryaningrat
    Gusti Panji atau Panembahan Suryaningrat (1889–1920)
    Gusti Roem atau Panembahan Gusti Roem (1912–1942)
    Gusti Mesir atau Panembahan Gusti Mesir (1942–1943)
    Gusti Ibrahim (1945)


Gusti Mesir menjadi tawanan tentara Jepang yang berhasil merebut wilayah Indonesia dari Belanda pada 1942, karena itulah maka terjadi kekosongan pemerintahan di Kerajaan Simpang. Pada akhir masa pendudukan Jepang di Indonesia, sekira tahun 1945, diangkatlah Gusti Ibrahim, anak lelaki Gusti Mesir, sebagai raja. Namun, karena saat itu usia Gusti Ibrahim baru menginjak 14 tahun maka roda pemerintahan dijalankan oleh keluarga kerajaan yaitu Gusti Mahmud atau Mangkubumi yang memimpin Kerajaan Simpang hingga wafat pada 1952.

Kerajaan Kayong-Matan atau Kerajaan Tanjungpura II
    Gusti Irawan atau Sultan Mangkurat
    Pangeran Agung
    Sultan Mangkurat Berputra
    Panembahan Anom Kesuma Negara atau Muhammad Zainuddin Mursal (1829-1833)
    Pangeran Muhammad Sabran
    Gusti Muhammad Saunan

Menurut Staatsblad van Nederlandisch Indië tahun 1849, wilayah kerajaan-kerajaan ini termasuk dalam wester-afdeeling berdasarkan Bêsluit van den Minister van Staat, Gouverneur-Generaal van Nederlandsch-Indie, pada 27 Agustus 1849, No. 8[19] Meski terpecah-pecah menjadi beberapa kerajaan, namun kerajaan-kerajaan turunan Kerajaan Tanjungpura (Kerajaan Sukadana, Kerajaan Simpang-Matan, dan Kerajaan Kayong-Matan atau Kerajaan Tanjungpura II) masih tetap eksis dengan pemerintahannya masing-masing. Silsilah raja-raja yang pernah berkuasa di Kerajaan Matan (dan sebelum berdirinya Kerajaan Matan) di atas adalah salah satu versi yang berhasil diperoleh. Terdapat versi lain yang juga menyebutkan silsilah raja-raja Matan yang diperoleh dari keluarga Kerajaan Matan sendiri dengan menghimpun data dari berbagai sumber (P.J. Veth, 1854; J.U. Lontaan, 1975; H. von Dewall, 1862; J.P.J. Barth, 1896; Silsilah Keluarga Kerajaan Matan-Tanjungpura; Silsilah Raja Melayu dan Bugis; Raja Ali Haji, Tufat al-Nafis; Harun Jelani, 2004; H.J. de Graaf, 2002; Gusti Kamboja, 2004), yakni sebagai berikut:

Kerajaan Tanjungpura
    Sang Maniaka atau Krysna Pandita (800 M–?)
    Hyang-Ta (900–977)
    Siak Bahulun (977–1025)
    Rangga Sentap (1290–?)
    Prabu Jaya/Brawijaya (1447-1461)
    Raja Baparung, Pangeran Prabu (1461–1481)
    Karang Tunjung, Panembahan Pudong Prasap (1481–1501)
    Panembahan Kalahirang (1501–1512)
    Panembahan Bandala (1512–1538); Anak Kalahirang
    Panembahan Anom (1538–1565); Saudara Panembahan Bandala
    Panembahan Dibarokh atau Sibiring Mambal (1565?1590)

Kerajaan Matan
    Giri Kusuma (1590–1608); Anak Panembahan Bandala
    Ratu Sukadana atau Putri Bunku/Ratu Mas Jaintan (1608–1622); Istri Giri Kusuma/Anak Ratu Prabu Landak
    Panembahan Ayer Mala (1622–1630); Anak Panembahan Bandala
    Sultan Muhammad Syafeiudin, Giri Mustaka, Panembahan Meliau atau Pangeran Iranata/Cakra,(1630–1659); Anak/Menantu Giri Kusuma
    Sultan Muhammad Zainuddin/Pangeran Muda (1659–1725); Anak Sultan Muhammad Syaeiuddin
    Pangeran Agung (1710–1711); Perebutan kekuasaan
    pembagian kekuasaan, memimpin kerajaan di Tanah Merah
    Pangeran Agung Martadipura (1725–1730); Anak Sultan Muhammad Zainuddin, pembagian kekuasaan memimpin kerajaan di Tanah Merah
    Pangeran Mangkurat/Sultan Aliuddin Dinlaga (1728–1749); Anak Sultan Muhammad Zainuddin, pembagian kekuasaan di Sandai dan Tanah Merah
    pembagian kekuasaan, memimpin kerajaan di Simpang
    Pangeran Ratu Agung (1735–1740); Anak Sultan Muhammad Zainuddin, pembagian kekuasaan, memimpin kerajaan di Simpang
    Sultan Muazzidin Girilaya (1749–1762); Anak Pangeran Ratu Agung, memimpin kerajaan di Simpang
    Sultan Akhmad Kamaluddin/Panembahan Tiang Tiga (1762–1792); Anak Sultan Aliuddin Dinlaga
    Sultan Muhammad Jamaluddin, sebelumnya: Pangeran Ratu, sebelumnya: Gusti Arma (1792–1830); Anak Sultan Akhmad Kalamuddin
    Pangeran Adi Mangkurat Iradilaga atau Panembahan Anom Kusuma Negara (1831–1843); Anak Pangeran Mangkurat
    Pangeran Cakra yang Tua atau Pangeran Jaya Anom (1843–1845); Sebagai pejabat perdana menteri, anak Pangeran Mangkurat
    Panembahan Gusti Muhammad Sabran (1845–1908)[14]; Anak Panembahan Anom Kusuma Negara
    Pangeran Laksamana Uti Muchsin (1908–1924); Anak Panembahan Gusti Muhammad Sabran
    Panembahan Gusti Muhammad Saunan atau Pangeran Mas (1924–1943); Anak Gusti Muhammad Busra
    Majelis Pemerintah Kerajaan Matan (1943–1948), terdiri dari Uti Halil (Pg. Mangku Negara), Uti Apilah (Pg. Adipati), Gusti Kencana (Pg. Anom Laksamana)
    Majelis Raja Kerajaan Matan dipimpin Pangeran Ratu Kertanegara Ir. H. Gusti Kamboja, MH;

 Pangeran Laksamana Anom Gst Fadlin, S.Sos dan Pangeran Adipati Uti Iwan Kusnadi (sejak 2009 - Sekarang)